BRIDA, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Buleleng menyelenggarakan Pembahasan Laporan Akhir Rencana Kontingensi (Renkon) Kekeringan Kabupaten Buleleng Tahun 2026-2028, Senin (20/10) di ruang rapat setempat.
Acara dipimpin Sekretaris BPBD yang dalam sambutannya menekankan
pentingnya penyusunan rencana kontingensi sebagai pedoman terpadu dalam
menghadapi ancaman kekeringan yang sering terjadi di Buleleng. Kehadiran
berbagai unsur diharapkan dapat memperkuat koordinasi lintas sektor dalam
penanggulangan bencana secara komprehensif.
Selanjutnya, Dr. I Wayan Krisna Eka Putra, S.Pd., M.Eng., CRA., CRP.,
selaku Tenaga Ahli dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja,
menyampaikan paparan utama terkait substansi laporan akhir dokumen Renkon
Kekeringan. Dalam paparannya, Krisna menyampaikan bahwa dokumen ini diharapkan
tidak hanya berhenti sebagai dokumen administratif, namun benar-benar dipahami,
dimaknai, dan diimplementasikan oleh seluruh pemangku kepentingan.
“Harapannya dokumen ini tidak sebatas dokumen, tetapi tersampaikan dengan
baik. Poin pentingnya dapat diketahui dan dimaknai, sehingga ketika diaktifkan,
dokumen ini benar-benar mampu menjadi dasar penanggulangan bencana secara
terpadu”, ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa hampir seluruh isi dokumen
merupakan milik Pemerintah Kabupaten Buleleng, bersifat mengikat seluruh
komponen penanggulangan bencana, dan diharapkan dapat menjadi dasar penyusunan
Peraturan Bupati ke depan.
Histori kekeringan menunjukkan bahwa fenomena kekeringan di Buleleng
telah tercatat sejak abad ke-19, dengan beberapa peristiwa besar seperti
kekeringan pascaerupsi Tambora (1815–1816), El Nino 1855-1857, serta kekeringan
ekstrim 1877-1878. Sejak tahun 2000, frekuensi kekeringan meningkat menjadi
hampir tahunan, terutama pada bulan Agustus hingga Oktober dengan keterkaitan
kuat terhadap fenomena El Nino.
Jenis kekeringan yang terjadi di Buleleng diklasifikasikan menjadi empat
tipe, yakni kekeringan meteorologis (penurunan curah hujan secara signifikan),
kekeringan hidrologis (penurunan cadangan air permukaan dan tanah), kekeringan
pertanian atau agrikultural (kekurangan air untuk tanaman sehingga menyebabkan
gagal panen), serta kekeringan sosial-ekonomi yang berdampak pada kehidupan
masyarakat secara luas, termasuk krisis air bersih dan gangguan kesehatan.
Lokus utama rencana kontingensi ditetapkan di Kecamatan Gerokgak, wilayah
dengan kerawanan kekeringan tertinggi dan durasi kemarau yang panjang. Skenario
bencana ditetapkan terjadi pada bulan Juli hingga Oktober, dengan bahaya primer
berupa kekurangan air bersih, dan bahaya sekunder berupa gangguan kesehatan
seperti diare, dehidrasi, dan penyakit kulit terutama bagi kelompok rentan.
Jumlah penduduk terdampak diperkirakan mencapai 102.479 jiwa, dengan kebutuhan
air harian sekitar 2 juta liter dalam skenario sedang.
Analisis teknis menunjukkan bahwa dengan 4 sumber air (debit 4
liter/detik), waktu pemenuhan kebutuhan air melebihi 35 jam, sehingga tidak mencukupi.
Idealnya diperlukan 10 sumber air dengan debit 40 liter/detik untuk memenuhi
kebutuhan air wilayah terdampak secara optimal. Distribusi air akan dilakukan
menggunakan armada truk tangki, dengan kebutuhan sekitar 52 armada per hari,
jauh di atas jumlah armada yang tersedia saat ini. Oleh karena itu, dibutuhkan
kolaborasi dengan kabupaten/kota lain dan pihak swasta dalam mendukung
distribusi air dan penyediaan tandon di desa-desa terdampak.
Rencana kontingensi ini juga merinci tiga fase utama penanganan bencana, yakni fase siaga darurat, fase tanggap darurat, dan fase transisi ke pemulihan yang mencakup aktivasi sistem peringatan dini, penyediaan air bersih, evakuasi warga terdampak, pelayanan kesehatan, serta perbaikan sarana air bersih dan pemulihan sosial-ekonomi masyarakat. Seluruh proses penanganan diarahkan agar respons terhadap kekeringan dapat dilakukan cepat, terkoordinasi, dan tepat sasaran.
Pada kesempatan ini, Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Kabupaten
Buleleng dihadiri oleh Putu Sucika, S.Sos., selaku Penelaah Teknis Kebijakan
serta hadir pula oleh perangkat daerah, akademisi, lembaga teknis, instansi
vertikal, serta pemangku kepentingan lainnya yang tergabung dalam Tim Pembahas
Dokumen Rencana Kontinjensi Kekeringan. #Sck.