Konsep kepemimpinan era milenial saat ini bukan lagi menjadi seorang
owner atau pemilik perusahaan, yang bisa berbuat sesuatu seenak maunya. Seperti
seorang tukang sate, dia beli kambing, dia motong, memasak, dan dia juga makan.
Tapi era kepemimpinan saat ini yang katanya disebut era milenial, pemimpin itu
adalah pelayan. Pelayan siapa? Pelayanan bagi yang dipimpinnya.
Pimpinan harus mampu menciptakan suasana kerja yang nyaman bagi stafnya,
dan mempermudah pelaksanaan kegiatan dengan melayani semua komponen yang ada.
Dengan demikian, semua kegiatan akan berjalan harmonis dan mencapai tujuan yang
sama. Pimpinan harus juga siap dikritik dan siap menerima masukan dari staf.
Bukan justru sebaliknya, setiap ada yang memberikan masukan atau saran, justru
dianggap lawan yang tidak mendukung programnya. Kalau begini bagaimana
organisasi bisa jalan, bukankah azas domokrasi dengan musyawarah dan mufakat
itu bagian karakter kita?
Kondisi seperti ini, kalau dibiarkan berlarut-larut akan menyebabkan akumulasi tekanan tertentu serta memicu munculnya disharmoni dalam sebuah lembaga, dan sulit untuk dicarikan jalan keluar. Apalagi munculnya watak pemimpin yang otoriter, merasa sendiri paling pintar dan paling benar, sehingga semuanya harus diputuskan sendiri tanpa mempertimbangkan saran dan masukan dari bawahan. Sifat ini kadang sering muncul ketika seseorang menjadi pemimpin. Sikap egois yang berlebihan inilah yang kadang mempengaruhinya, sehingga merasa diri paling benar.
Cobalah merenung dan instropeksi bahwa keberhasilan tugas pemimpin itu
sangat ditentukan oleh karyawan atau bawahannya. Pemimpin tidak bisa berjalan
sendiri, apalagi merasa super sendiri. Maka menjadi seorang pemimpin memerlukan
seni untuk menjalankan organisasinya. Ibarat seorang masinis yang menjalankan
gerbong dengan banyak penumpang didalamnya. Bagaimana penumpang merasa nyaman
dan kereta terus berjalan pada rel yang sudah ada, untuk mencapai tujuan
bersama tanpa menimbulkan konflik didalamnya. #Roy.