BRIDA, Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Kabupaten Buleleng menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Tingkat Kecamatan dalam rangka penyusunan Kajian Optimalisasi Tata Kelola Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Buleleng, Rabu (22/10) di ruang rapat setempat.
FGD ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengumpulan data yang
dilaksanakan di tiga wilayah, yaitu wilayah Barat, Tengah, dan Timur.
Pelaksanaan FGD kali ini difokuskan untuk wilayah Tengah, yang meliputi
Kecamatan Buleleng, Kecamatan Banjar, dan Kecamatan Sukasada. Kegiatan ini
dihadiri oleh berbagai pihak, di antaranya Ketua Forum Komunikasi Perbekel
(Forkomdes), Ketua Majelis Desa Adat (MDA) dari masing-masing kecamatan,
perwakilan Bendesa Adat, pengurus LPD beserta nasabahnya, serta tim teknis
kajian dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, Bagian Pengadaan Barang dan
Jasa Setda Kabupaten Buleleng, tim pengawas Brida, serta tim pelaksana dari
Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja.
Acara dipimpin oleh Sekretaris Brida, Made Suharta, S.Kom., M.A.P. Dalam
sambutannya, disampaikan bahwa kegiatan FGD ini merupakan tindak lanjut dari
usulan Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng. Kajian tersebut bertujuan untuk
menemukan model kebijakan yang ideal dalam pengelolaan dan penguatan LPD agar
lebih sehat dan berdaya guna bagi masyarakat desa adat di Kabupaten Buleleng.
“FGD ini menjadi forum penting untuk menggali langsung berbagai permasalahan
yang dihadapi oleh pengurus LPD dan desa adat, sehingga kita bisa mendapatkan
rumusan kebijakan yang tepat dan aplikatif”, ujar Made Suharta.
Kegiatan menghadirkan dua narasumber utama, yakni Dr. I Nengah
Suarmanayasa, S.E., M.E., selaku Ketua Tim Pelaksana Kajian dari Undiksha, dan
Prof. Dr. I Nengah Suastika, S.Pd., M.Pd. Sebagai pemateri, Dr. Suarmanayasa
menjelaskan bahwa di Kabupaten Buleleng terdapat 196 LPD, di mana sebanyak 81
LPD tergolong sehat, sementara sisanya dalam kondisi cukup sehat, kurang sehat,
tidak sehat, bahkan ada yang sudah tidak beroperasi. Dari data tersebut,
Kabupaten Buleleng tercatat memiliki jumlah LPD tidak beroperasi tertinggi di
Bali, yaitu 14,79%.
Menurutnya, kondisi tersebut menunjukan perlunya kajian mendalam untuk
mengetahui akar permasalahan dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
ketidaksehatan pada LPD. Kajian ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan
untuk menyehatkan kembali LPD yang bermasalah dan memperkuat tata kelola
keuangan desa berbasis adat.
Sementara itu, Prof. Suastika menjelaskan bahwa pengumpulan data
dilakukan melalui kuisioner dan diskusi kelompok (FGD) untuk menggali informasi
lebih mendalam dari berbagai narasumber, mulai dari pengurus LPD, panureksa,
bendesa adat, kepala desa, hingga nasabah. Beliau menyoroti bahwa berbagai
faktor seperti keterbatasan sumber daya manusia, lemahnya manajemen, kendala
hukum, serta kesalahan dalam pengelolaan usaha menjadi penyebab utama banyaknya
LPD yang bermasalah.
Dalam sesi diskusi, sejumlah peserta dari Forkomdes, MDA, Bendesa Adat,
dan perwakilan LPD menyampaikan berbagai kendala yang mereka hadapi di
lapangan. Beberapa di antaranya adalah tingginya angka kredit macet, kurangnya
pelatihan kompetensi bagi pengurus LPD, serta minimnya penerapan awig-awig dan
pararem dalam penyelesaian permasalahan di tingkat desa adat. Selain itu, juga
muncul persoalan kurangnya sinergi antara desa adat dan desa dinas, yang
menyebabkan terjadinya tumpang tindih dalam pengelolaan lembaga keuangan desa
seperti LPD, Bumdes, Bupda dan koperasi merah putih.
Peserta juga dari Majelis Desa Adat Kecamatan Banjar menyampaikan bahwa
penerapan awig-awig di beberapa LPD masih sebatas administratif dan belum
dijalankan secara maksimal, sehingga penyelesaian masalah kredit macet sering
kali tidak memiliki dasar hukum adat yang kuat. Sementara itu, peserta dari MDA
Kecamatan Sukasada mengusulkan agar segera dibentuk pararem khusus tentang
pengelolaan LPD, mengingat banyaknya kasus di mana pengurus LPD berasal dari
satu keluarga atau melakukan praktik manajerial yang tidak transparan.
Narasumber juga menegaskan bahwa LPD sebagai lembaga keuangan mikro seharusnya berfokus pada pelayanan kredit dalam skala kecil, bukan pinjaman besar yang beresiko tinggi. “LPD yang mengalami kerugian atau bahkan bangkrut umumnya adalah LPD yang memberikan pinjaman besar tanpa mitigasi resiko yang memadai. Sebaliknya, pinjaman kecil justru lebih mudah dikontrol dan jarang menimbulkan masalah”, ujar Dr. Suarmanayasa.
Menutup kegiatan, Sekretaris Made Suharta menegaskan bahwa permasalahan
utama yang ditemukan dalam FGD ini akan menjadi bahan analisis mendalam bagi
tim tenaga ahli untuk merumuskan model kebijakan pengelolaan LPD yang ideal.
“Kami berharap kajian ini dapat menghasilkan rekomendasi konkrit untuk
memperkuat tata kelola LPD agar lebih sehat, transparan, dan berkontribusi
nyata terhadap kemajuan ekonomi masyarakat desa adat di Kabupaten Buleleng”,
tutupnya. #Sck.