(0362) 27719
brida@bulelengkab.go.id
Badan Riset dan Inovasi Daerah

FGD Optimalisasi Tata Kelola LPD Diharapkan Lebih Sehat

Admin brida | 22 Oktober 2025 | 431 kali

BRIDA, Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Kabupaten Buleleng menyelenggarakan kegiatan  Focus Group Discussion (FGD) Tingkat Kecamatan dalam rangka penyusunan Kajian Optimalisasi Tata Kelola Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Buleleng, Rabu (22/10) di ruang rapat setempat.

 

FGD ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengumpulan data yang dilaksanakan di tiga wilayah, yaitu wilayah Barat, Tengah, dan Timur. Pelaksanaan FGD kali ini difokuskan untuk wilayah Tengah, yang meliputi Kecamatan Buleleng, Kecamatan Banjar, dan Kecamatan Sukasada. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pihak, di antaranya Ketua Forum Komunikasi Perbekel (Forkomdes), Ketua Majelis Desa Adat (MDA) dari masing-masing kecamatan, perwakilan Bendesa Adat, pengurus LPD beserta nasabahnya, serta tim teknis kajian dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Setda Kabupaten Buleleng, tim pengawas Brida, serta tim pelaksana dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja.

 

Acara dipimpin oleh Sekretaris Brida, Made Suharta, S.Kom., M.A.P. Dalam sambutannya, disampaikan bahwa kegiatan FGD ini merupakan tindak lanjut dari usulan Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng. Kajian tersebut bertujuan untuk menemukan model kebijakan yang ideal dalam pengelolaan dan penguatan LPD agar lebih sehat dan berdaya guna bagi masyarakat desa adat di Kabupaten Buleleng. “FGD ini menjadi forum penting untuk menggali langsung berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pengurus LPD dan desa adat, sehingga kita bisa mendapatkan rumusan kebijakan yang tepat dan aplikatif”, ujar Made Suharta.

 

Kegiatan menghadirkan dua narasumber utama, yakni Dr. I Nengah Suarmanayasa, S.E., M.E., selaku Ketua Tim Pelaksana Kajian dari Undiksha, dan Prof. Dr. I Nengah Suastika, S.Pd., M.Pd. Sebagai pemateri, Dr. Suarmanayasa menjelaskan bahwa di Kabupaten Buleleng terdapat 196 LPD, di mana sebanyak 81 LPD tergolong sehat, sementara sisanya dalam kondisi cukup sehat, kurang sehat, tidak sehat, bahkan ada yang sudah tidak beroperasi. Dari data tersebut, Kabupaten Buleleng tercatat memiliki jumlah LPD tidak beroperasi tertinggi di Bali, yaitu 14,79%.

 

Menurutnya, kondisi tersebut menunjukan perlunya kajian mendalam untuk mengetahui akar permasalahan dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketidaksehatan pada LPD. Kajian ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menyehatkan kembali LPD yang bermasalah dan memperkuat tata kelola keuangan desa berbasis adat.

 

Sementara itu, Prof. Suastika menjelaskan bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kuisioner dan diskusi kelompok (FGD) untuk menggali informasi lebih mendalam dari berbagai narasumber, mulai dari pengurus LPD, panureksa, bendesa adat, kepala desa, hingga nasabah. Beliau menyoroti bahwa berbagai faktor seperti keterbatasan sumber daya manusia, lemahnya manajemen, kendala hukum, serta kesalahan dalam pengelolaan usaha menjadi penyebab utama banyaknya LPD yang bermasalah.

 

Dalam sesi diskusi, sejumlah peserta dari Forkomdes, MDA, Bendesa Adat, dan perwakilan LPD menyampaikan berbagai kendala yang mereka hadapi di lapangan. Beberapa di antaranya adalah tingginya angka kredit macet, kurangnya pelatihan kompetensi bagi pengurus LPD, serta minimnya penerapan awig-awig dan pararem dalam penyelesaian permasalahan di tingkat desa adat. Selain itu, juga muncul persoalan kurangnya sinergi antara desa adat dan desa dinas, yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih dalam pengelolaan lembaga keuangan desa seperti LPD, Bumdes, Bupda dan koperasi merah putih.

 

Peserta juga dari Majelis Desa Adat Kecamatan Banjar menyampaikan bahwa penerapan awig-awig di beberapa LPD masih sebatas administratif dan belum dijalankan secara maksimal, sehingga penyelesaian masalah kredit macet sering kali tidak memiliki dasar hukum adat yang kuat. Sementara itu, peserta dari MDA Kecamatan Sukasada mengusulkan agar segera dibentuk pararem khusus tentang pengelolaan LPD, mengingat banyaknya kasus di mana pengurus LPD berasal dari satu keluarga atau melakukan praktik manajerial yang tidak transparan.

 

Narasumber juga menegaskan bahwa LPD sebagai lembaga keuangan mikro seharusnya berfokus pada pelayanan kredit dalam skala kecil, bukan pinjaman besar yang beresiko tinggi. “LPD yang mengalami kerugian atau bahkan bangkrut umumnya adalah LPD yang memberikan pinjaman besar tanpa mitigasi resiko yang memadai. Sebaliknya, pinjaman kecil justru lebih mudah dikontrol dan jarang menimbulkan masalah”, ujar Dr. Suarmanayasa.


Menutup kegiatan, Sekretaris Made Suharta menegaskan bahwa permasalahan utama yang ditemukan dalam FGD ini akan menjadi bahan analisis mendalam bagi tim tenaga ahli untuk merumuskan model kebijakan pengelolaan LPD yang ideal. “Kami berharap kajian ini dapat menghasilkan rekomendasi konkrit untuk memperkuat tata kelola LPD agar lebih sehat, transparan, dan berkontribusi nyata terhadap kemajuan ekonomi masyarakat desa adat di Kabupaten Buleleng”, tutupnya. #Sck.