(0362) 27719
brida@bulelengkab.go.id
Badan Riset dan Inovasi Daerah

Brida Sidang TPM Kajian Optimalisasi Tata Kelola LPD di Buleleng

Admin brida | 19 September 2025 | 950 kali

BRIDA, Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Kabupaten Buleleng menyelenggarakan Sidang Tim Pengendali Mutu (TPM) Pembahasan Laporan Pendahuluan dalam rangka penyusunan Kajian Optimalisasi Tata Kelola Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Buleleng, Jumat (19/9) di Ruang Auditorium Balingkang Confucius Institute, Undiksha Singaraja. Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Brida, Drs. Made Supartawan, M.M., dan dipandu oleh moderator Sugihartono, S.H., M.H.

Kegiatan diawali dengan pemaparan dari Tim Peneliti Universitas Pendidikan Ganesha, Prof. Dr. I Nengah Suastika, S.Pd., M.Pd. dan Dr. I Nengah Suarmanayasa, S.E., M.Si. yang menyampaikan laporan pendahuluan kajian. Pemaparan tersebut menyoroti kondisi terkini LPD di Buleleng, di mana dari 169 LPD yang ada, 81 berstatus sehat, 62 dalam kategori cukup, kurang, atau tidak sehat, dan 25 LPD (15%) sudah tidak beroperasi. Kajian ini bertujuan menganalisis permasalahan tata kelola, memformulasikan rencana tindak lanjut pemerintah daerah, serta merancang model ideal pengelolaan LPD berbasis kearifan lokal.

Selanjutnya, narasumber dari Polres Buleleng, Ipda Ketut Fongky Suhendra Yasa, SH., menyampaikan materi Peran Desa Adat dalam Mengontrol LPD. Beliau menegaskan bahwa LPD sebagai lembaga keuangan adat pada dasarnya dikontrol oleh krama desa melalui mekanisme awig-awig, prajuru desa adat, dan paruman desa. Namun, terdapat kerentanan seperti lemahnya SDM, potensi konflik internal, hingga modus korupsi seperti penggelapan dan kredit fiktif. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pembinaan, audit eksternal, serta peningkatan kapasitas pengurus LPD

Lebih lanjut, narasumber dari Kejaksaan Tinggi Bali, Dr. Anak Agung Ngurah Jayalantara, SH., M.H., Kepala Seksi Pengendalian Operasi pada Asisten Tindak Pidana Khusus, menyampaikan materi LPD Sebuah Konsep Tata Kelola. Ia menegaskan bahwa tujuan awal pembentukan LPD sangat mulia, yakni mensejahterakan masyarakat adat dengan orientasi sosial-budaya.

Namun, dalam perkembangannya, banyak LPD beroperasi layaknya bank komersial dengan jangkauan usaha yang meluas ke luar masyarakat adat. Jayalantara menjelaskan bahwa hukum adat tidak dapat menjangkau masyarakat luar adat. Semua permasalahan LPD tetap jatuhnya diparuman adat, sementara modus penyalahgunaan seperti debitur bermasalah atau nasabah yang masuk daftar hitam BI justru lari ke LPD untuk mendapatkan akses pinjaman. Sanksi adat yang bersifat sosial emosional semakin lama tidak lagi ditakuti. Oleh karena itu, menurutnya, jika ada pihak yang ingin berorientasi profit, sebaiknya mendirikan lembaga keuangan mikro formal di luar LPD.

Ia juga menyoroti fenomena di mana Bendesa Adat selaku pemilik sekaligus pimpinan LPD sering kali tunduk pada pengurus LPD, sehingga fungsi pengawasan tidak berjalan optimal. Padahal, upaya pengembalian LPD ke konsep awal sangat memungkinkan, asalkan ada regulasi yang tegas dari pimpinan terkait melalui pendekatan top-down. Jayalantara menekankan bahwa LPD seharusnya kembali ke konsep awalnya sebagai lembaga sosial-ekonomi adat, bukan bertransformasi menjadi bank komersial.

“Agar LPD tetap kuat dan dipercaya masyarakat adat, maka harus dipegang teguh slogannya: LPD agar ‘Cenik Siteng’ – kecil tetapi kokoh, kuat berdiri dengan prinsip sosial-budaya untuk kesejahteraan krama desa,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa lemahnya tata kelola membuka kemungkinan LPD dimohonkan pailit apabila dikelola seperti lembaga keuangan komersial tanpa dasar hukum yang kuat. Oleh sebab itu, diperlukan regulasi yang jelas, peran tegas Bendesa Adat, serta pendampingan dari pemerintah agar LPD benar-benar kembali pada jati dirinya sebagai pilar ekonomi berbasis adat.

Sidang TPM menyimpulkan bahwa upaya optimalisasi tata kelola LPD di Kabupaten Buleleng membutuhkan langkah sinergis antara desa adat, pemerintah daerah, akademisi, dan aparat penegak hukum. LPD yang pada awalnya dibentuk dengan tujuan mulia untuk mensejahterakan masyarakat adat, kini menghadapi tantangan serius akibat pelemahan tata kelola, lemahnya regulasi, serta meluasnya praktik pengelolaan yang menyerupai bank komersial.

Dalam forum ini mengemuka pandangan bahwa Lembaga Pemberdayaan LPD masih berfungsi layaknya “macan ompong” karena tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menjatuhkan sanksi. Begitu pula peran Badan Kerja Sama (BKS) LPD yang masih perlu diperkuat agar dapat memberikan pendampingan dan pengawasan secara nyata. Pertanyaan penting juga muncul terkait kemungkinan penyalahgunaan wewenang dibawa ke ranah hukum, termasuk nasabah atau debitur macet yang dapat ditindak sesuai ketentuan hukum negara. Hal ini menegaskan perlunya pendidikan hukum kontrak di masyarakat, dengan mendorong agar perjanjian pinjaman dibuat lebih kuat secara legal, misalnya melalui akta notaris.

Selain itu, sidang juga menyoroti pentingnya pendampingan oleh lembaga keuangan formal, minimal Bank BPD Bali, untuk membantu memperkuat tata kelola dan memitigasi risiko. Peran Kerta Desa Adat serta Bendesa Adat juga ditekankan kembali, agar mekanisme pengawasan internal desa adat dapat berjalan lebih efektif.

Sebagai tindak lanjut, forum merekomendasikan perlunya pendampingan kepada masyarakat adat dalam mengawal tata kelola LPD, termasuk melalui keterlibatan Pemerintah. Balai Kerta Adyasa maupun Kerta Desa juga diusulkan untuk lebih dioptimalkan sebagai wadah penyelesaian masalah LPD berbasis hukum adat.

Dengan penguatan regulasi, peningkatan kapasitas, serta dukungan lintas sektor, diharapkan LPD dapat kembali pada konsep awalnya, yaitu sebagai lembaga sosial-ekonomi berbasis adat yang tidak hanya menjaga kearifan lokal, tetapi juga benar-benar mensejahterakan masyarakat desa.

Dengan rekomendasi tersebut, diharapkan LPD dapat kembali pada konsep awalnya sebagai lembaga sosial-ekonomi adat yang memperkuat kesejahteraan masyarakat desa adat, tanpa kehilangan kepercayaan publik akibat lemahnya tata kelola.

Sidang ini diikuti oleh Disbud, DPMD, Bappeda, Diskominfosanti, Bagian Hukum Setda, Bagian Ekbang serta, anggota TPM dari Undiksha, Unipas, PPPM IAHN Mpu Kuturan, Tim Pelaksana, Tim Teknis dan Tim Pengawas Kajian, MDA Kabupaten Buleleng, MDA Kecamatan se-Buleleng, Koordinator LPLPD, Ketua BKS LPD, 25 Bendesa Adat, 25 Kepala LPD beserta nasabah, Ketua Forkomdeslu Kabupaten Buleleng, Ketua Forkomdes Kecamatan se-Buleleng, serta para Analis Kebijakan dan staf pelaksana BRIDA Buleleng. #Sck.